Minggu, 03 Maret 2013

Posisi Budaya Kaum Perempuan


POSISI BUDAYA KAUM PEREMPUAN
Oleh: Ikhwan Muzakki
Posisi kaum wanita dalam hal ini mengulas sebagai hal berkaitan dengan wanita, tentang pemahaman budaya mengenai ketegori ‘wanita’ itu bervareasi sesuai dengan perkembangan keadaan dan waktu, dan pemahaman-pemahaman itu berhubungan dengan posisis kaum wanita di berbagai masyarakat (More, 1998:25). Posisi kaum wanita yang selalu berada pada subordinasi pria bergantung pada pertimbangan dalam gubufan-hubungan yang berdasarkan jeder. Dalam hal ini jender dapat dilighat dari dua segi, pertama sebagai suatu konstruksi simbolik, kedua sebagai suatu hbungan sosial (More, 1998:29). Dalam suatu konstruksi simbolik harus memahami konstruksi budaya mengenai jender di mana sesuai esai Ortner bersama artikel Edwin Angger yang berjudul “Keprcayaan dan Permasalahan Wanita”, memprakarsai kerangka kerja yang kuat dan berpengaruh dalam pembelajaran permasalahan subordinasi wanita melalui analisis simbolisme jender (dalam More, 1998:30).
                Ortner (dlam More, 1998:30-31) mengemukakan bahwa wanita di berbagai kebudayaan dkaitkan dengansesuatu yang dipandang rendah oleh setiap kebudayaan. Dalam pandangan Ortner hanya ada satu hal yang sesuai dengan penggambaran tersebut, dan itu adalh alami dlam pengertian yang paling umum. Semua kebudayaan mengenal dan membuat perbedaan antara masyarakat manusia dengan alam dunia. Kebudayaan berusamha mengotrol dan menguasai alam untuk memanfatkan demi kepentingan sendiri. Kebudayaan, karena lebih superior dari pada alam dunia dan berusaha untuk mengatur dan mempertahankan antara hubungan masyarakat dengan kekuatan serta kondisi lingkungan. Oleh Karen itu Ortner berpendapat bahwa wanita diidentifikasikan atau secara simbolik diasosiaksikan dengan alam, sedangkan pria diasosiasikan dengan kebudayaan. Karena, kebudayaan berusaha untuk mengontrol den menguasai alam, maka merupakan suatu hal yang alami pula bahwa wanita karena hubungannya yang dekat dengan alam juga harus dikontrol dan dikuasai. Dasar yang ia gunakan untuk menghubungkan wanita denga alam atau bahwa wanita diandng lebih dekat epada alam dariada pri ialah sebagai berikut:
1.       Sifat wanita dan fungsi reproduksinya yang khas membuat tamak lebih dekat kepada alam. Pria tidak seperti waita, harus mencari sarana penciptaan budaya-teknologi, symbol-simbol, sedangkan daya kreatifitas wanita secara alami dapat dipenuhi melalui proses melahirkan. Sedangkan pria, karenanya lebih secara langsung dihubungkan dengan kebudayaan dan dengan daya penciptaan yang diberikan oleh kebudayaan sebagai lawan dari alam. Wanita secara alami menciptakan dari kebudayaan dirinya sendiri, sedagkan pria bebas untuk, atau dipaksa untuk, menciptakan artificial, yakni melalui sarana kebudayaan, dan dengan cara yang demikian untuk mempertahankan kebudayaan (dalam More, 1998:77).
2.       Peran social wanita dipandang lebih dekat kepada alam karena keterlbatannya mereka dalam kegiatan reproduksi cenderung membatasi mereka pada fungsi-fungsi sosial tertentu yang juga dipandang lebih dekat kepada alam. Disini, Ortner merujuk pada pembatasan wanita terutama dihubungkan dengan pengasuhan anak, dan kerenanya dikaitkan dengan pribadi person yang belum terbentuk secara budaya/personal. Ortner mengemukakan bahwa hubungan yang tersirat antara anak dengan alam, merupakan suatu gambaran penting dalam sejumlah masyarakat (dalam More, 1999:78). Hubungan yang alami antara wanita anak dan keluarga menyuguhkan tahap kategorisasi tambahan. Karena waita dibatasi daam konteks dometik, maka lingkungan kegiatan utama mereka menjadi intera dan interhubungan keluarga, sebaliknya, prialah yang menjalankan dominan/wilayah dan public dari kehidupan sosial. Pria, karenanya diidentifikasikan dengan masyarakat dan kepentingan umum/public, sedangkan wanita tatap diasosiasikan dengan keluarga, dan kerena dengan unsur  yang khusus  serta permasalahan yang terpisah secara sosial. Tujuan Ortner adalah lebih untuk mengidentifikasikan dan menepatkan penialaian budaya yag membuat waita lebih dekat pada alam.
Perbedan antara pria dan wanita dapat dikonsepsikan sebagai satu rangkaian dan pasangan yang berawanan yang berkaitan dengan rangkaian oposisi lainnya. Dengan demikian, pria diasosiasikan sebagai atas, kanan, tinggi, dan kekuatan. Sedangkan wanita dikaitkan dengan hal yang sebaliknya, bawah, kiri, rendah, dan lemah (Moore, 1998:33). Status rendah pada wanita adalah konsep pencemarn (polusi). Setelah melahirkan dean selama menstruasi, memberkan petunjuk mangenai bagaimana masyarakat mengategorikan satu jenis kelamin tertentu dan jenis kelamin lainnya dan kemudian dengan itu membentuk dunia sosial mereka.
Goodle berpendapat di kalangan suku Kaulong wanita dianggap sebagai pencemar sejak masa sebelum pubertas sampai sesudah menopause (mati haid), selama periode-periode ini wanita harus menjauh dari kebun, pemukiman, dan sumber-sumber air, dan seorang wanita harus berhati-hati untuk tidak menyentuh segala sesuatu yang meungkin disentuh kaum pria (dalam Moore , 1998:192). Pendapat Ortner bahwa wanita lebih dekat kealam karena peran fisiologis dan reproduksi mereka dapat diterapkan pada suku Kaulong bahwa drajat wanita lebih rendah karena mereka adalah pencemar.
Wanita dilihat lebih dekat kepada alam adalah adanya bahwa mereka lebih banya diasosiasikan dengan lingkungan domain domestic/rumah tangga daripada lingkup domain publik/masyarakat luas dalam kehidupan sosial (Moore, 1998:43). Kemudian Rosaldo menambahkan bahwa pertentangan domestik/publik, seperti juga alam/kebudayaan, berasal dari peran wanita sebagai ibu dan pengasuh anak. Kategori domestik dan publik berada dalam hubungan hirarki satu sama lainnya. Rosaldo member batasan domestik sebagai lembaga dan kegiatan yang diatur sekitar kelompok ibu-anak, sedangkan pubilik menunjuk pada kegiatan, lembaga dan bentuk-bentuk asosiasi yang menghubungkan, membuat perangkat, mengorganisir, dan menyatukan kelompok-kelompok khusus ibu-anak (dalam Moore, 1998:398).
Moore (1998:48) menyatakan bahwa ibu merupakan jenis hubungan keluarga yang paing jelas dan fakta biologis. Hubungan antara ibu dan anak sangatlah alami, karena merupakan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa wanita itulah yang melahirkan anak tersebut. Kemudian Barnes (dalam Moore, 1998) menekan bahwa ayah tidaklah demikian nyata sebagaimana ibu. Ibu adalah wanita yang hangat, penuh perhatian, dan mengabdikan seuruh waktunya, sedangkan dalam kebudayaan lainnya, mereka sangat berkuasa, menjaga jarak dan hanya mengabdikan sebagian waktunya.
Jender sebagai peran sosial sosial adalah ketika wanita dalam hubungan sosial maka peran jender yang berfungsi. Drajat pria dan wanita itu sebetulnya sama jka wanita berani bertindak, berbara, dan emmbuat keputusandalam interaksi dunia sehari-hari (Rogers, dalam Moore, 1998:68). Leacock dalam tulisannya menolak dua argumentasi yang telah dikemukakan oleh penulis feminis lainnya sebelumnya (1) status wanita secara langsung berkaitan dengan fungsi melahirkan dan membesarkan anak, dan (2) pembedaan domestik dan publik merupakan kerja lintas budaya yang abash untuk menganalisis hubungan jender (dalam Moore, 1998:61). Kemudian Leacock menjelaskan kembali mengenai posisi wanita dalam masyarakat:
“(Ketika)” sejumlah keputusan dibuat oleh waita dipertimbangkan, peran publik dalam otonomin wanita muncul. Status mereka tidak ‘serta’ secara literal terhadap pria (suatu hal yang menyebabkan banyak kebingungan), tetapi seprti adanya mereka wanita, dengan hak, kwajiban, dan tanggung jawabnya sendiri, yang merupakan pelengkap dan sama sekali tidak lebih rendah dari pada pria”

Selanjutnya Sack (dalam Moore, 1998:64) mengenai jender melalui karyayanya sister and wivers melalui kerangka kerja. Dalam tulisannya Sack mengidentifikasikan dua cara produksi dalam masyarakat non kelas yaitu: pertama, cara komunal (communal mode). Di mana semua orang baik pria maupun wanita memiliki hubungan yang sama terhadap sarana produksi dan karenanya mereka berdiri sama tinggi, sejajar satu sama lainnya sebagai anggota yang setara dalam masyarakat pemilik. Kedua, cara yang bersifat hubungan darah (a kin corporate mode). Di mana kelompok sanak keluarga secara kolektif menguasai sarana produksi dan status wanita bervariasi bergantung pada apakah mereka terutama didefinisikan sebagai (a) saudara perempuan, dalam hal mana mereka dianggap sebagai anggota dari kelompok keuarga yang berkuasa (b) istri, yang haknya didapat lebih melalui perkawinan degan kelompok sanak keluarga sendiri. Pendapat Sack tersebut menunjukkan bahwa wanita dan pria jika memiliki akses yang setara terhadap sarana-sarana produksi maka dengan demikian akan dapat kesetaraan seksual. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Support by

Support by Pemilik Blog, Dedik (STAIL) Thanks untuk dukungannya,-Dian (ITB)-Yani (UGM). Kirimkan berita/info Semina, Lomba, Kompetisi, Beasiswa, dll untuk kita bagi kepada saudara-saudara kita

My Guest

Pengikut


blogging portal

Web hosting for webmasters